Rabu, 29 Juni 2011

EFEKTIFITAS PERAWATAN LUKA DENGAN TEHNIK TERTUTUP DAN TERBUKA TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TALI PUSAT


BAB 1

PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang
            Persalinan adalah proses dimana seorang ibu melahirkan bayinya. Pada saat bayi baru lahir terjadi proses adaptasi dengan dunia luar yang jauh berbeda dengan keadaan dalam rahim sehingga terjadi perubahan (Jumiarni, 1994). Akibat perubahan lingkungan dari uterus ke luar uterus, maka bayi baru lahir menerima rangsangan yang bersifat kimiawi, mekanis dan termis. Hasil dari rangsangan ini membuat bayi akan mengalami perubahan metabolisme, pernafasan, sirkulasi dan lain-lain (Wiknjosastro H, 2002). Disamping itu bayi dituntut melakukan metabolisme dan melaksanakan segala sistem tubuhnya sendiri seperti bernafas, mencerna, eliminasi dan lain – lain yang semula tergantung pada ibunya.


 
            Periode lain adalah terjadinya infeksi terutama pada tali pusat yang merupakan luka basah dan dapat menjadi pintu masuknya kuman tetanus yang sangat sering menjadi penyebab kematian bayi baru lahir (Jumiarni, 1994). Sebelum terjadi penutupan anatomik yang sempurna pembuluh darah tali pusat merupakan tempat masuknya kuman yang paling baik, sehingga bayi mudah menderita infeksi                (Markum A.H, 1995). Untuk itu perlu dilakukan perawatan tali pusat. Perawatan tali pusat dapat menggunakan tehnik tertutup atau dengan menggunakan tehnik terbuka. Sampai saat ini di rumah sakit banyak yang menggunakan tehnik perawatan tertutup yaitu membersihkan tali pusat dengan alkohol 70 %, luka dikompres kasa alkohol 70 % kemudian ditutup dengan kassa steril (Cristine, 1993). Dan mulai tahun 2002, sejak 

Lengkapanya DISINi

HUBUNGAN ANTARA PELAYANAN KEPERAWATAN DENGAN KEPUASAN PASIEN ASMA RAWAT INAP


BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang
Memasuki abad ke 21 yang semakin maju, sudah seharusnya bahwa pendekatan paripurna yang berorientasi pada kepuasan pelanggan atau pasien menjadi strategi utama bagi organisasi pelayanan kesehatan di Indonesia, agar supaya tetap eksis  di tengah persaingan yang semakin ketat. Kawasan Asia Tenggara akan menjadi kawasan perdagangan bebas dan tahun-tahun selanjutnya negara–negara maju di kawasan Asia Pasifik akan membuka pintu lebar-lebar bagi komoditi dan jasa  yang dihasilkan. Sebaliknya kita harus membuka lebar-lebar  pasar kita untuk menerima komoditi dan jasa dari negara lain. Hal ini berarti bahwa pada saat ini, kita harus mampu bersaing khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan, tidak hanya dengan sesama sejawat dalam negeri namun benar-benar mampu bersaing dengan sejawat dari negara lain (Depkes, 2006).
Kondisi persaingan yang ketat tersebut hal utama yang perlu diprioritaskan  oleh jasa pelayanan adalah kepuasan pelanggan agar dapat bertahan, bersaing, mempertahankan pasar  yang sudah ada, dan jika memungkinkan bahkan menguasai pasar. Untuk memenangkan  persaingan  rumah sakit harus  mampu memberikan kepuasan kepada pelanggannya, misalnya dengan memberikan pelayanan yang mutunya lebih baik dibanding  pesaing dengan harga  yang layak, waktu penyampaian jasa lebih cepat (Pohan, 2007).
Penelitian Wirawan (2007) tentang tingkat kepuasan pasien rawat inap terhadap asuhan keperawatan di sebuah rumah sakit di Jawa Timur. Diperoleh informasi, hanya 17% dari seluruh pasien rawat inap yang mengatakan puas terhadap asuhan keperawatan yang diterima, sedangkan 83% mengatakan tidak puas. Penelitian tersebut juga memberikan informasi bahwa keluhan utama adalah terhadap pelayanan perawat, yakni perawat tidak mau berkomunikasi dengan pasien (80%), kurang perhatian (66,7%) dan tidak ramah (33,3%) (Dinas Infokom Jatim, 2008).
Penelitian Pardani di rumah sakit pemerintah klas A di Surabaya tahun 2001, dengan menggunakan 100 orang pasien rawat inap, diperoleh informasi bahwa 50% mengatakan puas terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan, cukup puas 25% dan tidak puas 25%. Damayanti melakukan studi tentang harapan dan kepuasan pasien di sebuah rumah sakit pemerintah di Surabaya pada tahun 2002. Diperoleh hasil bahwa terhadap dokter pasien lebih mengharapkan keterampilan teknik mediknya (oleh pesien disebut "kepandaian dokter mengobati atau menyembuhkan") sedangkan terhadap perawatnya, pasien lebih mengharapkan kesabaran dan perhatian. Sebanyak 48 orang responden diambil secara proporsional di ruang interna dan Paviliun. Hasil menunjukkan bahwa 41% responden mengatakan kurang puas dengan pelayanan rumah sakit dan sebanyak 59% sisanya mengatakan puas. Khusus terhadap kinerja perawat, keluhan terbesar adalah bahwa perawat jarang menengok pasien bila tidak diminta dan bila dipanggil perawat tidak segera datang (perawat datang sekitar 10 menit) (Arief, 2008).
Berdasarkan survei awal di dapatkan Laporan rawat inap di Puskesmas Arjasa Kangean tahun 2009 didapat jumlah klien asma yang dirawat sebanyak 375   pasien dan hasil studi pendahuluan pada 8 penderita asma di Puskesmas Arjasa Kangean pada tanggal 12  Pebruari 2010 secara wawancara didapatkan bahwa 6 (75%) pasien mengatakan tidak puas dengan pelayanan perawat dan 2 (25%) pasien mengatakan puas dengan pelayanan perawat.
Kurangnya kepuasan pasien terjadi karena dinamika tuntutan pasien yang demikian cepat berubah namun tidak diimbangi dengan kecepatan perubahan pola kerja dan tindakan perawat. Perawat lebih banyak berfokus pada kinerja medik atau teknik keperawatan (pelaksanaan fungsi dependent atau fungsi pelimpahan dari dokter) padahal pasien nampaknya justru mengharapkan kinerja perawat sesuai normatifnya yaitu lebih berfokus pada aspek yang berkaitan dengan dimensi non teknik keperawatan (pelaksanaan fungsi independent) (Potter dan Perry, 2005).
Kualitas layanan kesehatan dan kepuasan pelanggan menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan layanan di rumah sakit. Disisi lain, dalam bentuk pelayanan yang berkembang sekarang ini, pelayanan menjadi semakin rumit dan cukup sulit diukur, karena hasil yang terlihat merupakan dari berbagai faktor yang berpengaruh. Oleh sebab itu, tercapainya pelayanan kesehatan yang baik memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dalam hal ini kerjasama dari setiap unit yang terkait mengambil peran yang sangat penting (Pohan, 2007).
Memahami pelayanan keperawatan yang diterimanya berhubungan dengan kepuasan pasien di rumah sakit yang bersangkutan, maka penelitian ini bermaksud untuk menganalisis adakah hubungan antara pelayanan keperawatan dengan kepuasan pasien asma di Puskesmas Arjasa Kangean.

1.2  Identifikasi Masalah
Puskesmas Arjasa Kangean merupakan salah satu pelayanan kesehatan masyarakat di lingkungan Kangean dengan pelayanan yang diberikan misalnya poli umum, poli kesehatan ibu dan anak, poli kesehatan gigi dan mulut, poli kusta dan TB, pojok gizi, klinik peduli remaja dan sanitasi, rawat jalan dan rawat inap. Adapaun pasien yang paling banyak saat ini adalah penderita asma yang dirawat di Puskesmas Arjasa Kangean. Seiring meningkatnya pasien yang dirawat di Puskesmas Arjasa maka pelayanan kepada pasien perlu ditingkatkan yang merupakan tujuan dalam memberikan pelayanan keperawatan di rumah sakit. Kepuasan pasien merupakan indikator  terhadap pelayanan keperawatan, oleh karena itu perawat harus bisa memberikan pelayanan keperawatan yang optimal sehingga meningkatkan kepercayaan pasien kepada perawat, dan juga  memberikan kepuasan pasien terhadap pelayanan  rumah sakit.

1.3  Rumusan Masalah.
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumusakan permasalahan sebagai berikut :
Apakah ada hubungan antara pelayanan keperawatan dengan kepuasan pasien asma rawat inap  di Puskesmas Arjasa Kangean?
lengkapnuya SEDOT DISINI

Senin, 27 Juni 2011

SKRIPSI PENGARUH TERAPI BEKAM TERHADAP TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI


BAB 1 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tujuan akhir pernafasan adalah mempertahankan konsentrasi oksigen, karbondioksida dan ion hidrogen dalam cairan tubuh. Sumbatan jalan nafas karena benda asing sangat berbahaya dan harus segera dibersihkan. Karena apabila tidak dapat bernafas, maka kita tidak dapat memberikan pernafasan buatan. Indikasi pemasangan ETT (Endotracheal Tube) termasuk sumbatan mekanis pada jalan nafas dan gangguan non obstruksi yang mengubah ventilasi. Tindakan pemasangan ETT sering dilakukan di unit perawatan intensif untuk penderita yang refleks laringnya terganggu atau mengalami gagal nafas akut. ETT  harus sering dibersihkan dari sekret dengan cara dihisap karena jika tidak dibersihkan, sekret akan tertahan di jalan nafas sehingga sirkulasi oksigen ke jaringan tidak maksimal, hal ini mengakibatkan saturasi oksigen kurang dari normal sehingga dapat terjadi hipoksemia, yang penting diingat adalah setiap kita melakukan penghisapan sekret bukan sekretnya saja yang dihisap tapi oksigen di paru juga dihisap dan alveoli juga bisa kolaps (Nazaruddin, 2004)

Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan ataupun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat pemasangan trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur bronkial. Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi sebenarnya masih belum jelas, namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan Radsel melaporkan kira-kira 0.1 %. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di ruang perawatan ICU (Intensive Care Unit) Sentral RSUD Jombang pada bulan Januari sampai Desember 2008 terdapat 50 pasien yang memakai ETT. Peneliti menemukan penderita yang memakai ETT   pada bulan November – Desember 2008 sebanyak 8 pasien. Dari data tersebut didapatkan fakta setelah selesai dilakukan penghisapan sekret ETT terdapat 5 orang yang mengalami penurunan saturasi oksigen, padahal seharusnya jika sekret ETT telah dihisap maka airway menjadi lebih lancar, sehingga sirkulasi, ventilasi, perfusi dan transport gas pernafasan ke jaringan lebih baik.

Sumbatan jalan nafas dapat total dan partial. Sumbatan jalan nafas total bila tidak dikoreksi dalam waktu 5 sampai 10 detik dapat mengakibatkan hipoksia, henti nafas dan henti jantung. Berdasar ini kita harus segera mulai memberikan penanganan awal karena lebih banyak korban meninggal disebabkan kekurangan oksigen daripada kelebihan oksigen. Oleh karena hipoksemia dapat mematikan dalam waktu 3-5 menit. Sedangkan oksigen toxicity baru menyebabkan kerusakan jaringan paru jika pemberian okisigen 100% yang terus menerus selama 12 jam atau lebih. Sebelum suction, pasien harus diberi oksigen yang adekuat (pre oksigenasi) sebab oksigen akan menurun selama proses pengisapan pada pasien- pasien yang oksigennya sudah kurang. Pre oksigen ini dapat menghindari hipoksemia yang berat dengan segala akibatnya, sebab proses suction dapat menimbulkan hipoksemia. Keadekuatan sirkulasi, ventilasi, perfusi dan transport gas pernafasan ke jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya perilaku. Faktor yang paling berpengaruh adalah perilaku perawat saat melaksanakan prosedur penghisapan sekret ETT, jika prosedur tidak sesuai dapat mengakibatkan sekret tidak bisa keluar sehingga dapat mengakibatkan hipoksia karena oksigenasi ke jaringan tidak adekuat akibat defisiensi penghantaran oksigen atau penggunaan oksigen di seluler dengan tanda dan gejala gelisah, penurunan tingkat kesadaran, peningkatan tekanan darah, frekuensi nadi dan sianosis, jika tidak ditangani akan mengakibatkan kematian padahal gejala awal terjadinya hipoksia dapat dilihat dari penurunan saturasi oksigen (FK Unair, 2002).

Upaya yang dapat dilakukan oleh perawat adalah melakukan tindakan suction ETT sesuai standar prosedur serta melakukan fisioterapi nafas pada pasien, dan tidak kalah pentingnya pemantauan terhadap peralatan yang digunakan apakah konsentrasi oksigen yang digunakan sesuai, serta deteksi dini adanya kebocoran pipa ETT. Berdasarkan fenomena tersebut penulis tertarik meneliti pengaruh tindakan suction 5 detik dengan 10 detik  terhadap perubahan saturasi oksigen. Karena pengetahuan tersebut dapat dijadikan masukan untuk para perawat ketika melakukan tindakan suction  pada pasien.


SKRIPSI KEEFEKTIFAN TERAPI NEBULIZER TERHADAP FUNGSI PARU PADA PASIEN PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK)


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Terapi nebulizer merupakan bagian dari fisioterapi paru-paru (chest physiotherapy). Tepatnya, cara pengobatan dengan memberi obat dalam bentuk uap secara langsung pada alat pernapasan menuju paru-paru. Sejak ditemukannya nebulizer pada tahun 1859 di Perancis, nebulizer merupakan pilihan terbaik pada kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah inflamasi atau obstruksi bronkus pada penderita asma atau PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis). Sebagai bronkodilator terapi inhalasi memberikan onset yang lebih cepat dibandingkan obat oral maupun intravena (Winariani, 2002).

Menurut Dr Suradi, penyakit PPOK di Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai penyakit yang menyebabkan kematian. Sementara data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan ke-4 sebagai penyebab kematian. Pada dekade mandatang akan meningkat ke peringkat ketiga dan menyerang sekitar 10% penduduk usia 40 tahun ke atas. Kondisi ini tanpa disadari, angka kematian akibat PPOK ini makin meningkat. Pengobatan terhadap penyakit ini tidak akan bisa menyembuhkan 100 persen. Sedangkan pengobatan berupa suportif paliatif hanya untuk memperbaiki hidup. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bronkodilator dalam bentuk inhalasi lebih efektif disbanding bronkodilator dalam bentuk parenteral terutama pada PPOK ekserbasi akut dalam serangan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada pasien di ruang Paviliun Cempaka RSUD Jombang selama bulan September-November 2008 tercatat dari 53 pasien yang menderita PPOK yang mendapat terapi melalui inhalasi rata-rata 2 sampai 3 kali kondisinya membaik Indikasi terapi nebulizer untuk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas untuk mengobati: bronchospasme akut, produksi mukus yang berlebihan, batuk dan sesak napas, epiglotitis, sedangkan di ruangan Paviliun Cempaka indikasi dilakukan terapi “nebulizer” adalah bila saat dilakukan pemeriksaan fisik terdengar suara wheezing pada kedua lapang paru.

Terapi ini lebih efektif, kerjanya lebih cepat pada organ targetnya, serta membutuhkan dosis obat yang lebih kecil, sehingga efek sampingnya ke organ lainpun lebih sedikit. Sebanyak 20-30% obat akan masuk di saluran napas dan paru-paru, sedangkan 2-5% mungkin akan mengendap di mulut dan tenggorokan. Pemberian obat dalam bentuk inhalasi ini ditujukan untuk memberikan efek efek lokal yang maksimal di paru dan memberikan efek samping yang seminimal mungkin. Adapun saluran nafas yang dimaksud adalah mulai dari saluran nafas atas, trachea, bronkus, bronkiolus hingga alveoli. Reseptor yang menerima efek bronkodilator dari adenoreseptor terdapat di bawah laring dan tersebar merata sepanjang saluran nafas konduksi. Tujuan pemberian terapi nebulizer adalah dapat diberikan langsung pada tempat/sasaran aksinya (seperti paru) oleh karena itu dosis yang diberikan rendah, dosis yg rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik, pengiriman obat melalui nebulizer ke paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat dari pada rute lainnya seperti subkutan atau oral, udara yang dihirup melalui nebulizer telah lembab, yang dapat membantu mengeluarkan sekresi bronchus (Winariani, 2002).

Untuk penatalaksanaan penderita PPOK perlu dilakukan penilaian awal yang teliti mengenai tingkat perjalanan penyakit, lamanya gejala, adanya gangguan faal obstruksi jalan nafas dan derajat obstruksi. Penatalaksanaan selalu mencakup suatu pengobatan yang terarah  dan rasional, bukan semata-mata pengobatan medika mentosa. Prinsip pengobatan terdiri dari usaha pencegahan, mobilisasi dahak yang lancar, memberantas infeksi yang ada, mengatasi obstruksi jalan nafas, mengatasi hipoksemia pada keadaan dengan gangguan faal yang berat, fisioterapi dan rehabilitasi dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang lama hidup. Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana fungsi paru pasien PPOK yang menggunakan terapi nebulizer dengan terapi parenteral di Ruang Paviliun Cempaka  RSUD Jombang.

1.2. Rumusan masalah.
1.2.1 Pertanyaan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat dirumuskan pertanyaan masalah sebagai berikut :

 LEBIH LENGLENG SEDOT DISINI

KARYA TULIS ILMIAH BERAT BADAN BAYI UMUR 0-6 BULAN YANG DIBERI ASI TANPA SUSU FORMULA DENGAN DIBERI SUSU FORMULA TANPA ASI


BAB I
PENDAHULUAN

I.1     Latar Belakang
        Menyusui merupakan hal yang umum terjadi pada semua budaya dan selalu di lakukan karena kelangsungan hidup bayi tergantung pada ASI. Oleh karena itu menyusui juga merupakan suatu alamiah yang universal, yang menjamin kelangsungan hidup dan kesehatan anak. Namun karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap manfaat pemberian ASI, diet yang terbatas dan lingkungan yang kurang sehat menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian anak.
        Di negara berkembang, menyusui merupakan senjata terampuh untuk melindungi bayi dari incaran maut. Semua penderita yang, meninggal karena kekurangan gizi diperkirakan 1 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, Menurut laporan dari Demografic and health survey WHO di indonesia tahun 1998 bayi yang mendapat ASI sebanyak 65%,tahun 1999 menurun menjadi 50%.
        Pengetahuan merupakan hasil dari tahun dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003- 121)
        ASI Esklusif adalah Bayi hanya diberi ASI saja selama 6 bulan,tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula ,jeruk, madu, air teh, dan air putih, serta tambahan makanan padat seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan nasi tim. Setelah 6 bulan baru mulai diberikan makanan pendamping ASI (MPASI). ASI dapat diberikan sampai anak berusia 2 tahun atau lebih. (Eny Retna Ambarawati& Diah Wulandari 2008, Asuhan Kebidanan. NIFAS).
         Hasil rekomendasi WHO dan UNICEF pada pertemuan tahun 1979 di geneva tentang makanan bayi dan anak antara lain berisi : menyusui merupakan bagian terpadu proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologis yang di butuhkan untuk pertumbuhan.Memberikan susu formula dengan dalih apapun pada bayi lahir harus di hindarkan (Prawirohardjo, 2002).
        Pertumbuhan bayi menyusui secara murni adalah dengan tercukupnya zat gizi yang terkandung dalam ASI sehingga dapat menjamin pertumbuhan normal.Keunggulan ASI lebih unggul di bandingkan susu buatan karena ASI  mengandung hampir semua zat gizi yang diperlukan bayi susu buatan menyebabkan alergi karena mengandung bahan yang bisa menyebabkan diare kronik.Faktor yang bisa mempengaruhi pengetahuan ibu tentang ASI esklusif antara lain usia, pendidikan, lingkungan, intelegasi dan pekerjaan.
Pada saat ini program dinas kesehatan kota Surabaya menargetkan tercapainya pemberian ASI esklusif tahun 2010 sebesar 70 % dan untuk tahun 2011 sebesar 90%. Kenyatannya target yang mampu di capai pada tahun 2009 hanya sebesar kurang lebih 40%. Berdasarkan data yang diperoleh, di BPS Hj. Sri Wahyuni, Amd, Keb,121 jumlah kelahiran bayi yang diberi ASI,yang mendapat ASI esklusif hanya 20 bayi ( 16,5% ).


I.2  Identifikasi Masalah
        Penelitian ini dilakukan di BPS Hj.Sri Wahyuni, Amd, Keb. Terletak di Jl. Melirang Bungah Gresik. BPS ini melayani KB, ANC, INC,PNC dan imunisasi. Mayoritas pasien yang berkunjung di BPS ini adalah pendatang.(Bekerja sebagai pabrik 90 % dan menjadi pegawai negeri 10%)
        Sosial masyarakatnya hampir 100% beragama islam. Ditinjau dari segi perekonomian, masyarakat yang bekerja sebagai pabrik dapat dikatakan golongan ekonomi menengah kebawah, sehingga dapat berpengaruh terhadap tinggkat pendidikan juga pengetahuan. Berdasarkan survey awal bulan agustus observasi di BPS Hj. Sri Wahyuni, Amd, Keb pada 10 orang (100%) BAYI didapatkan kejadian banyak bayi yang berumur 0-6 bulan sebagian besar tidak minum ASI melainkan diberi susu formula sebanyak 5 orang (30%). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

I.3       Pembatasan dan Rumusan masalah
          “Apakah ada perbedaan antara berat badan bayi umur 0-6 bulan yang diberi ASI tanpa susu formula dengan diberi susu formula tanpa ASI di BPS Hj.Sri Wahyuni Amd.Keb, Gresik 

BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT

II.1 Tujuan Penelitian
II.1.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dalam pemberian ASI dan susu formula dengan berat badan bayi. (Di BPS Sri Wahyuni, Amd.Keb. Gresik).


SELENGKAPNYA SEDOT DISINI 



ASUHAN KEBIDANAN POST PARTUM FISIOLOGIS HARI PERTAMA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Masa nifas (puerperium) di mulai setelah kelahiran placenta dan berakhir ketika alat - alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Dalam periode masa nifas merupakan masa kritis baik ibu dan bayinya. Untuk itu di perlukan asuhan masa nifas.
Diperkirakan 60 % kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50 % kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Masa neonatus merupakan masa kritis dari kehidupan bayi terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir. Dengan bantuan molokat dan asuhan pada ibu dan bayi masa nifas dapat mencegah beberapa kematian ini.

1.2  Tujuan Penulisan

Tujuan umum
Diharapkan mahasiswa akademi kebidanan mempunyai wawasan yang lebih dalam dan pengalaman yang nyata dalam melaksanakan manajemen kebidanan pada ibu nifas.
     
      Tujuan khusus
Diharapkan mahasiswa akademi kebidanan dapat :
1.      Mahasiswa mampu melakukan pengkajian data pada klien
2.      Mahasiswa mampu membuat identifikasi masalah pada klien
3.      Mahasiswa mampu membuat identifikasi masalah potensial pada klien
4.      Mahasiswa mampu membuat rencana asuhan kebidanan disertai rasionalisasi dan intervensi pada klien
5.      mahasiswa mampu membuat intervensi yang telah di tunjukan pada klien
6.      Mahasiswa mampu mengevaluasi pada klien

1.3  Metode Penulisan

  1. Sesuai kepustakaan
Dengan membaca literatural berkaitan dengan topic asuhan kebidanan masa nifas
 
  1. Praktek langsung
Memberikan asuhan kebidanan pada pasien, melakukan pendekatan serta pelayanan kesehatan secara langsung

  1. Bimbingan dan konsultasi
Dalam penyusunan asuhan kebidanan ini, penulis melakukan konsultasi dengan pembimbing ruangan maupun pembimbing akademik

1.4  Sistematika Penulisan

Dalam Penyusunan asuhan kebidanan ini terdiri dari beberapa bab dimana terdiri dari beberapa sub bab adapun sistematika penulisan asuhan kebidanan ini adalah sebagai berikut :
Bab I        : Pendahuluan
Dalam bab inipenulis menjelaskan tentang latar belakang, tujuan    penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan

      Bab II       : Tinjauan teori
 Dalam bab ini penulisan mengemukakan tentang fisiologi masa nifas,   
perubahan masa nifas dan tindakan masa nifas

     Bab III       : Tinjauan kasus
  Bab ini akan dilakukan asuhan kebidanan dengan nifas fisiologis

     Bab IV       : Penutup
  Dalam bab ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari hasil    penelitian ini dan beberapa saran yang dapat berguna bagi pihak yang        berkepentingan

BAB II
LANDASAN  TEORI


Konsep dasar masa nifas (puerperium) normal
2.1.1 Pengertian
·         Masa nifas adalah masa setelah partus dan berakhir setelah kira – kira 6 minggu (kapita selekta kedokteran, 2001 : 316)
·         Masa nifas adalah pulih kembali mulai dari persalinan selesai sampai alat – alat kandungan kembali seperti pra hamil lama masa nifas 6 – 8 minggu (synopsis obstetri I, 2002 : 115)
·         Masa nifas adalah mulai setelah partus selesai dan berakhir setelah kira – kira 6 minggu akan tetapi seluruh alat genetalia baru pulih kembali setelah sebelum ada kehamilan dalam waktu 3 bulan (Sarwono prowihardjo 2002 : 237)
·         Masa nifas adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat – alat kandungan yang lamanya 6 minggu (Obstetri fisiologi, 1983 : 315)


LEBIH LENGKAP SEDOT DISINI