Jumat, 24 Juni 2011

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIPOSPADIA DAN EPISPADIA

 HIPOSPADIA DAN EPISPADIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi merupakan salah satu penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. Sepsis berhubungan dengan angka kematian 13% - 50% dan kemungkinan morbiditas yang kuat pada bayi yang bertahan hidup. (Fanaroff & Martin, 1992). Infeksi pada neonatus di negeri kita masih merupakan masalah yang gawat. Di Jakarta terutama di RSCM, infeksi merupakan 10 – 15% dari morbidilitas perinatal.
Infeksi pada neonatus lebih sering di temukan pada BBLR. Infeksi lebih sering ditemukan pada bayi yang lahir di rumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir di luar rumah sakit. Dalam hal ini tidak termasuk bayi yang lahir di luar rumah sakit dengan cara septik.
Sepsis neonatus, sepsis neonatorum, dan septikemia neonatus merupakan istilah yang telah digunakan untuk menggambarkan respon sistemik terhadap infeksi pada bayi baru lahir. Ada sedikit kesepakatan pada penggunaan istilah secara tepat, yaitu apakah harus dibatasi pada infeksi bakteri, biakan darah positif, atau keparahan sakit. Kini, ada pembahasan yang cukup banyak mengenai definisi sepsis yang tepat dalam kepustakaan perawatan kritis.

1.2 Tujuan
• Untuk memenuhi tugas keperawatan anak.
• Untuk mengetahui definisi tentang sepsis neonatorum.
• Untuk mengetahui perjalanan penyakit dari sepsis neonatorum sehingga dapat memunculkan masalah-masalah keperawatan.
• Untuk mempelajari askep sepsis neonatorum.
 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Sepsis adalah sindrome yang di karakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah, yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik. (Marilynn E. Doenges, 1999).
Sepsis adalah bakteri umum pada aliran darah. (Donna L. Wong, 2003).
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan. (Bobak, 2004).
Sepsis adalah infeksi bakteri generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan. (Mary E. Muscari, 2005).
Neonatus sangat rentan karena respon imun yang belum sempurna. Angka mortalitas telah berkurang tapi insidennya tidak. Faktor resiko antara lain, prematuritas, prosedur invasif, penggunaan steroid untuk masalah paru kronis, dan pajanan nosokomial terhadap patogen. Antibodi dalam kolostrum sangant efeektif melawan bakteri gram negatif, oleh sebab itu, menyusui ASI memberi manfaat perlindungan terhadap infeksi.

2.2 EtiologiInfeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc (1961) membaginya menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Infeksi antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin.

2. Infeksi intranatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi dari pada cara lain. Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam) memunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh (misalnya ada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina).
3. Infeksi pascanatal
Infeksi ini terjadi sesudah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau akibat infeksi silang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di bagi menjadi tiga kategori :
• Faktor maternal : ruptur selaput ketuban yang lama, persalinan prematur, amnionitis klinis, demam maternal, manipulasi berlebihan selama proses persalinan, dan persalinan yang lama.
• Faktor lingkungan : yang dapat menjadi faktor predisposisi bayi selama sepsis meliputi, tetapi tidak terbatas pada, buruknya praktik cuci tangan dan teknik perawatan, kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai pemasangan kateter, selang endootrakea, teknologi invasif, dan pemberian susu formula.
• Faktor penjamu : jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat lahir rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan diri penjamu. (Bobak, 2004)
Bakteri, virus, jamur, dan protozoa (jarang) dapat menyebabkan sepsis neonatus. Penyebab yang paling sering dari sepsis mulai awal adalah streptokokus group B (SGB) dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kemih ibu. Sepsi mulai akhir disebabkan oleh SGB, virus herpes simpleks (HSV), entero virus dan E. Coli K1. Pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, candida dan stafilokokus koagulase negatif (CONS), merupakan patogen yang paling umum mulai akhir. (Nelson, hal. 653).

2.3 Patofisiologi
Neonatus sangat rentan terhadap infeksi sebagai akibat rendahnya imunitas non spesifik (inflamasi) dan spesifik (humoral), seperti rendahnya fagositosis, keterlambatan respon kemotaksis, minimal atau tidak adanya imunoglobulin A dan imunoglobulin M (IgA dan IgM), dan rendahnya kadar komplemen.
Sepsis pada periode neonatal dapat diperoleh sebelum kelahiran melalui plasenta dari aliran darah maternal atau selama persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi.
Sepsis awal (kurang dari 3 hari) didapat dalam periode perinatal, infeksi dapat terjadi dari kontak langsung dengan organisme dari saluran gastrointestinal atau genitourinaria maternal. Organisme yang paling sering menginfeksi adalah streptokokus group B (GBS) dan escherichia coli, yang terdapat di vagina. GBS muncul sebagai mikroorganisme yang sangat virulen pada neonatus, dengan angka kematian tinggi (50%) pada bayi yang terkena Haemophilus influenzae dan stafilokoki koagulasi negatif juga sering terlihat pada awitan awal sepsis pada bayi BBLSR.
Sepsis lanjut (1 sampai 3 minggu setelah lahir) utamanya nosokomial, dan organisme yang menyerang biasanya stafilokoki, klebsiella, enterokoki, dan pseudomonas. Stafilokokus koagulasi negatif, baiasa ditemukan sebagai penyebab septikemia pada bayi BBLR dan BBLSR. Invasi bakterial dapat terjadi melalui tampatseperti puntung tali pusat, kulit, membran mukosa mata, hidung, faring, dan telinga, dan sistem internal seperti sistem respirasi, saraf, perkemihan, dan gastrointestinal.
Infeksi pascanatal didapat dari kontaminasi silang dengan bayi lain, personel, atau benda – benda dilingkungan. Bakteri sering ditemukan dalam sumber air, alat pelembab, pipa wastafel, mesin penghisap, kebanyakan peralatan respirasi, dan kateter vena dan arteri terpasang yang digunakan untuk infus, pengambilan sampel darah, pemantauan tanda vital. (Donna L. Wong, 2009).
Proses patofisiologi sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complemen cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated intravaskular coagulation (DIC) dan kematian.( Bobak, 2004).
Penderita dengan gangguan imun mempunyai peningkatan resiko untuk mendapatkan sepsis nosokomial yang serius. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis gram negatif dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT). Hambatan kerja FNT oleh antibodi monoklonal anti-FNT sangat memperlemah manifestasi syok septik. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan dalam aliran darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis lebih lanjut.
Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang memicu respon fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba. FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan tonus vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan antara perfusi dan kenaikan kebutuhan metabolik jaringan.
Syok didefinisikan dengan tekanan sistolik dibawah persentil ke-5 menurut umur atau didefinisikan dengan ekstremitas dingin. Pengisian kembali kapiler yanng terlambat (>2 detik) dipandang sebagai indikator yang dapat dipercaya pada penurunan perfusi perifer. Tekanan vaskuler perifer pada syok septik (panas) tetapi menjadi sangat naik pada syok yang lebih lanjut (dingin). Pada syok septik pemakaian oksigen jaringan melebihi pasokan oksigen. Ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh vasodilatasi perifer pada awalnya, vasokonstriksi pada masa lanjut, depresi miokardium, hipotensi, insufisiensi ventilator, anemia. (Nelson, 1999).
Septisemia menunjukkan munculnya infeksi sistemik pada darah yang disebabkan oleh penggandaan mikroorganisme secara cepat atau zat-zat racunnya, yang dapat mengakibatkan perubahan psikologis yang sangat besar. Zat-zat patogen dapat berupa bakteri, jamur, virus, maupun riketsia. Penyebab yang paling umum dari septisemia adalah organisme gram negatif. Jika perlindungan tubuh tidak efektif dalam mengontrol invasi mikroorganisme, mungkin dapat terjadi syok septik, yang dikarakteristikkan dengan perubahan hemodinamik, ketidakseimbangan fungsi seluler, dan kegagalan sistem multipel. (Marilynn E. Doenges, 1999).

2.4 Manifestasi klinis

• Umum : panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.
• Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia (nafsu makan buruk), muntah, diare, hepatomegali.
• Saluran nafas : apneu, dispneu, takipneu, retraksi, nafas tidak teratur, merintih, sianosis.
• Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit lembab, hipotensi, takikardia, bradikardia.
• Sistem saraf pusat : iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, aktivitas menurun-letargi, koma, peningkatan atau penurunan tonus, gerakan mata abnormal, ubun-ubun membonjol.
• Hematologi : pucat, ptekie, purpura, perdarahan, ikterus.
• Sistem sirkulasi : pucat, sianosis, kulit dingin, hipotensi, edema, denyut jantung tidak beraturan. (Kapita Selekta, 2000).

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
A. Biodata
• Umur neonatus (0 – 28 hari)
• Jenis kelamin laki-laki

B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
• Panas
2. Riwayat Kehamilan
• Demam pada ibu (>37,9°C).
• Riwayat sepsis GBS pada bayi sebelumnya.
• Infeksi pada masa kehamilan.
3. Riwayat Persalinan
• Persalinan yang lama.
• Ruptur selaput ketuban yang lama (>18 jam).
• Persalinan prematur (<37 minggu).
4. Riwayat atau adanya faktor resiko
• Prematuritas/BBLR/BBLSR.
• Skor APGAR 5 menit rendah (<6).
• Jenis kelamin laki-laki (laki-laki 4 kali lebih sering terkena sepsis dari pada perempuan).

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
• Lemah, Koma.
2. Inspeksi
• Kepala: ubun-ubun membonjol.
• Muka: pucat, sianosis.
• Mata: gerakan mata abnormal.
• Kulit: ptekie.
3. Palpasi
• Distensi abdomen.
• Pemeriksaan ekstremitas: tremor, kejang.
5. Auskultasi
• Sistem pernafasan: nafas tidak teratur, merintih, takipneu.
6. Laboratorium
• Hitung darah lengkap (HDL).
Nilai HDL yang paling penting ialah hitung sel darah putih (SDP). Bayi yang mengalami sepsis biasanya menunjukkan penurunan nilai SDP, yakni <5000 mm3.
• Trombosit
Nilai normal 150.000 – 300.000 mm3. Pada sepsis nilai trombosit menurun.

• Kultur darah
Dilakukan dalam 24 – 48 jam untuk menjelaskan jumlah dan jenis bakteri yang ada dan kerentanannyaterhadap terapi antibiotika.
• Pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal (CSS)
Jumlah rata-rata leukosit di dalam CSS bayi baru lahir adalah sel/mm3 dan kisaran normal dapat mencapai 20 sel/mm3. Kadar protein CSF pada bayi cukup bulan adalah 90mg/dl dan 120 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pungsi lumbal traumatik dapat memberikan hasil yang tidak dapat diintepretasikan, karena penggunaan faktor koreksi yang berdasarkan pada jumlah eritrosit di dalam CSF dan di dalam cairan perifer sering tidak adekuat untuk menentukan jumlah leukosit dan kadar protein yang sebenarnya didalam CSS.
• Kultur urin
Urin untuk pemeriksaan aglutinasi lateks dan kultur juga dapat dilakukan.
• Rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.

3.2 Diagnosa
1. Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada reagulasi temperatur.
2. Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan nutrisi.
4. Resiko terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.
5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.
6. Resiko terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan permeabilitas kapiler.
7. Resiko terhadap gangguan pertukaran gas b/d edema pada paru-paru.
8. Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.
9. Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan lingkungan (nosokomial).
10. Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada diri anak).

3.3 Intervensi

1. Diagnosa : Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada reagulasi temperatur.
Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam bata normal, bebas dari kedinginan. Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan menggigil/diaforesis Suhu 38,9° - 41,1° C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Menggigil sering mendahului puncak suhu.
Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesuai indikasi. Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol. Dapat membantu mengurangi demam.
Kolaborasi
Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), asetaminofen (Tylenol). Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme, dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi.
Berikan selimut pendingin Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5° – 40° C pada waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.

2. Diagnosa : Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.
Kriteria Hasil : Meningkatkan fungsi usus mendekati normal.
Intervensi Rasional
Observasi frekuensi defekasi, karakteristik, dan jumlah. Diare sering terjadi akibat mikroba yang masuk kedalam usus.
Dorong diet tinggi serat dalam batasan diet, dengan masukan cairan sedang sesuai diet yang dibuat. Meningkatkan konsistensi feses. Meskipun cairan perlu untuk fungsi tubuh optimal, kelebihan jumlah mempengaruhi diare.
Bantu perawatan peringeal sering, gunakan salep sesuai indikasi. Berikan rendam pada pusaran air. Iritasi anal, ekskoriasi dan pruritus dapat terjadi karena diare.
Berikan obat sesuai indikasi. Untuk mengontrol frekuensi defekasi sampai tubuh mengalami perubahan yang lebih baik.

3. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan nutrisi.
Kriteria Hasil : Menunjukkan penambahan berat badan dan bebas dari tanda malnutrisi.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap hari, perhatikan tingkat energi, kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mulut, keinginan untuk makan/anoreksia. Memberikan kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari normal/dasar pasien dan mempengaruhi pilihan intervensi.
Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan berat badan saat penerimaan. Membuat data dasar, membantu dalam memantau keefektifan aturan terapeutik.
Kaji fungsi GI dan toleransi pada pemberian makanan enteral, catat bising usus, keluhan mual/muntah, ketidaknyamanan abdomen, adanya diare / konstipasi, terjadinya kelemahan dan takikardia. Karena pergantian protein dari mukosa GI terjadi kira-kira setiap 3 hari, saluran GI beresiko tinggi pada disfungsi dini dan atrofi dari penyakit dan malnutrisi.

4. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.
Kriteria Hasil : Menunjukkan perfusi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum, haluaran urinarius individu yang sesuai dan bising usus aktif.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pertahankan tirah baring, bantu dengan aktivitas perawatan. Menurunkan beban kerja miokard dan konsumsi O2, maksimalkan efektivitas dari perfusi jaringan.
Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi,dan perubahan pada tekanan denyut. Hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah, menstimulasi pelepasan, atau aktivasi dari substansi hormonal maupun kimiawi yang umumnya menghasilkan vasodilatasi perifer, penurunan tahapan vaskuler sistemik dan hipovolemia relatif.
Pantau frekuensi dan irama jantung. Bila terjadi takikardi, mengacu pada stimulasi sekunder sistem saraf simpatis untuk menekankan respon dan untuk menggantikan kerusakan pada hipovolumia relatif dan hipertensi.
Perhatikan kualitas/kekuatan dari denyut perifer Pada awal nadi cepat/kuat karena peningkatan curah jantung. Nadi dapat menjadi lemah/lambat karena hipotensi terus menerus, penurunan curah jantung, vasokonstriksi perifer jika terjadi status syok.

Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas. Perhatikan dispnea berat. Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon terhadap efek-efek langsung dari endotoksin pada pusat pernafasan di dalam otak, dan juga perkembangan hipoksia, stres dan demam. Pernafasan dapat menjadi dangkal bila terjadi insufisiensi pernafasan, menimbulkan resiko kegagalan pernafasan akut.
Catat haluaran urin setiap jam dan bertat jenisnya. Penurunan haluara urin dengan peningkatan berat jenis akan mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal yang dihubungkan dengan perpindahan cairan dan vasokonstriksi selektif.
Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkakan jaringan lokal, eritema. Stasis vena dna proses infeksi dapat menyebabkan perkembangan trombosis.
Catat efek obat-obatan, dan pantau tanda-tanda keracunan Dosis antibiotik masif sering dipesankan. Hal ini memiliki efek toksik berlebihan bila perfusi hepar/ ginjal terganggu.
Kolaborasi
Berikan cairan parenteral Untuk mempertahankan perfusi jaringan, sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan untuk mendukung volume sirkulasi.
Pantau pemeriksaan laboratorium. Perkembangan asidosis respiratorik dan metabolik merefleksikan kehilangan mekanisme kompensasi, misalnya penurunan perfusi ginjal dan akumulasi asam laktat.

5. Diagnosa : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.
Kriteria Hasil : Mempertahankan kulit utuh dan mengidentifikasi faktor-faktor resiko.
Intervensi Rasional
Ubah posisi sering di tempat tidur dan kursi. Rekomendasikan 10 menit latihan setiap jam dan lakukan rentang gerak. Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan gerak tulang sendi.
Gunakan jadwal rotasi dalam membalikkan pasien. Memberikan waktu lebih lama bebas dari tekanan, mencegah gerakan yang menimbulkan pengelupasan dan robekan yang dapat merusak jaringan rapuh.
Pertahankan agar sprei dan selimut tetap kering, bersih dan bebas dari kerutan, serpihan ataupun material lainnya yang dapat mengiritasi. Mengurangi abrasi kulit.
Berikan tambahan zat besi dan vitamin C. Membantu dalam penyembuhan/generasi seluler.

6. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan permeabilitas kapiler.
Kriteria Hasil : Mempertahankan volume sirkulasi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda vital dalam batas normal pasien, nadi perifer teraba, dan haluaran urin adekuat.
Intervensi Rasional
Mandiri
Catat/ukur pemasukan pengeluaran urin dan berat jenisnya
Penurunan haluaran urin dan berat jenis akan menyebabkan hipovolemia.
Pantau tekanan darah dan denyut jantung
Pengeluaran dalam sirkulasi volume cairn dapat mengurangi tekanan darah/CVP, mekanissme kompensasi awal dari takikardia untuk meningkatkan curah jantung dan meningkatkan darah sistemik.
Kaji membrane mukosa, turgor kulit dan rasa haus
Hipovolemia/cairan ruang ketiga akan memperkuat tanda-tanda dehidrasi.
Amati edema dependen/perifer pada sacrum, skurutum, punggung kaki Kehilangan cairan dari kompartemen vaskuler kedalam ruang interstitial akan menyebabkan edema jaringan.
Kolaborasi
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian cairan IV
Sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan untuk mengatasi hipovolemia relatif (vasodilatasi perifer), menggantikan kehilangan dengan meningkatkan permeabilitas kapiler (misalnya penumpukan cairan di dalam rongga peritoneal) dan meningkatkan sumber-sumber tak kasat mata (misalnya demam dan diaforesis).
Pantau nilai laboratorium Mengevaluasi perubahan di dalam hidrasi/viskositas darah. Peningkatan BUN akan merefleksikan dehidrasi, nilai tinggi dari BUN/Kr dapat mengindikasikan disfungsi/kegagalan ginjal.

7. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap ganggun pertukaran gas b/d edema pada paru-paru.
Kriteria Hasil : Mengoptimalkan pertukaran gas.
Intervensi Rasional
• Kaji pernafasan setiap jam, catat kualitas, irama, pola, kedalaman, dan otot penafasan.
• Kaji saluran nafas setiap hari.
• Kaji perubahan perilaku dan orientasi.
• Monitor ABC dan catat perubahan • Ubah posisi setiap 2 jam untuk bergerak dan drainase sekret. Tentukan posisi anak dalam posisi yang benar untuk mengoptimalkan pernafasan.
• Suction diperlukan untuk membersihkan sekrat.

8. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.
Kriteria Hasil : Tidak mengalami dispnea dan sianosis.
Intervensi Rasional
Pertahankan jalan nafas paten. Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman dengan kepala tempat tidur tinggi. Meningkatkan ekspansi paru-paru, upaya pernafasan.
Pantau frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori/ upaya untuk bernafas. Pernafasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres dan sirkulasi endotoksin. Hipoventilasi dan dispnea merefleksikan mekanisme kompensasi yang tidak efektif dan merupakan indikasi bahwa diperlukan dukungan ventilator.
Auskultasi bunyi nafas. Perhatikan krekels, mengi, area yang mengalami penurunan / kehilangan ventilasi. Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi adventisinius merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial. Etelektasis.
Catat munculnya sianosis sirkumoral. Menunjukkan oksigen sistemik tidak adekuat/pengurangan perfusi.
Selidiki perubahan pada sensorium, agitasi, kacau mental, perubahan kepribadian, delirium, koma. Fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenasi.
Berikan O2 tambahan melalui jalur yang sesuai, misalnya kanula nasal, masker. Diperlukan untuk mengoreksi hipoksemia dengan menggagalkan upaya/progresi asidosis respiratorik.
Tinjau sinar X dada. Perubahan menunjukkan perkembangan / resolusi dari komplikasi pulmonal, misalnya edema.

9. Diagnosa : Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan lingkungan (nosokomial).
Kriteria Hasil : Bebas dari infeksi nosokomial.
Intervensi Rasional
Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi. Dibutuhkan untuk melindungi pasien imunosupresi. Mengurangi resiko infeksi nosokomial.
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril. Mengurangi kontaminasi silang.
Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika memunngkinkan. Mengurangi jumlah lokasi yang dapat menjadi tempat masuk organisme.
Pantau kecenderungan suhu. Demam (38,5 – 40 C) disebabkan oleh efek dari endotoksin pada hipotalamus.
Dapatkan spesimen urine, darah, sputum, luka, jalur invasif sesuai petunjuk pewarnaan gram, kultur dan sensitivitas. Identifikasi terhadap portal entri dan organisme penyebab septisemia adalah penting bagi efektivitas pengobatan.

10. Diagnosa : Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada diri anak).
Kriteria Hasil : Keluarga bisa menerima keadaan yang dialami oleh anaknya.
Intervensi Rasional
Berikan penjelasan pada orang tua tentang kesehatan anak. Untuk mengurangi kecemasan yang dialami oleh orang tua.
Tinjau faktor resiko dan bentuk penularan/tempat masuk infeksi. Menyadari terhadap bagaimanan infeksi ditularkan akan memberikan informasi untuk merencanakan/melakukan tindakan protektif.
Dorong orang tua untuk memberikan perhatian yang lebih pada anak. Tujuan terapeutik pada anak maksimal.

3.4 Implementasi

• Mempertahankan tirah baring, membantu aktivitas perawatan.
• Memantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi,dan perubahan pada tekanan denyut.
• Memantau frekuensi dan irama jantung.
• Mengkaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas.
• Memantau suhu anak.
• Mencatat pemasukan dan pengeluaran urin.
• Memantau pemeriksaan laboratorium.
• Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril untuk mengurangi terjadinya infeksi nosokomial.

3.5 Evaluasi

• Suhu kembali normal.
• Berat badan meningkat.
• Perfusi jaringan normal, tidak mengalami dispnea dan sianosis.
• Tidak terjadi infeksi nosokomial.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran darah bayi selam empat minggu pertama kehidupan. Penyebabnya dimulai pada infeksi antenatal, infeksi intranatal, infeksi postnatal.
Pemeriksaan untuk mendiagnosa adanya sepsis adalah hitung darah lengkap (HDL), trombosit, kultur darah, pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal (CSS), kultur urin, rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.

4.2 Saran• Mencegah lebih baik dari pada mengobati.
• Hindari infeksi nosokomial.

DAFTAR PUSTAKA
Bobak, Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC, 2004.
Carpenito, Lynda Jual, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC, 2000.
FKUI, Ilmu Kesehatan Anak.
Gulanick, Meg. Puzas, Knol Michele. Wilson, R. Cynthia, Nursing Care Plans for Newborns and Children : acute and critical care. USA : 1992.
Mansjoer, Arif, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius: FKUI, 2000.
Muscari E. Mary, Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC, 2005.
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta:. EGC, 1999.
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: EGC, 1999.
Wilkinson, M. Judith, Buku Saku Diagnosa Keperawatan NIC NOC edisi 7. Jakarta : EGC, 2006.
William, M. Scwartz, Pedoman Klinis Pediatrik. Jakarta: EGC, 2004.
Wong, L. Donna, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 1. Jakarta: EGC, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar